Selasa, 24 Juli 2012

Nggak Cukup Waktu


Oleh : Zyeril Makki



Saat dulu saya masih bekerja, sometime I wish the hours in a day is more than 24 hours! Nggak tahu kenapa, tapi rasanya waktu dalam sehari tidak pernah cukup. Antara mengurus anak, suami, rumah (meskipun masih tinggal dengan ibu saya, dan ada asisten rumahtangga....tetep dong, harus turun tangan juga) dan bekerja di kantor. Dari mulai bangun subuh-subuh, menyiapkan keperluan Gyzan - anak saya yang pertama - keperluan suami (yang kadang sudah sangat membantu dengan menyiapkan keperluannya sendiri), dan juga mempersiapkan diri sendiri untuk berangkat kerja. Sepulang dari kantor (yang seringnya malam hari sampai di rumah), saya harus masih harus mencek dan membereskan barang-barang Gyzan yang sudah dipakainya seharian. Dengan hari kerja yang full dari Senin sampai Jumat, hari Sabtu dan Minggu pun tidak banyak berbeda. Angan-angan menambah jam tidur di hari libur lenyap seketika begitu Gyzan muncul dan muncul di kamar saya. Kalau sudah begini, orang seisi rumah sudah pasti gak 'laku'. Bujukan Dati (panggilan untuk eyangnya), om dan Ayahnya pun.... gagal dengan sukses! Pokoknya, nempel kayak perangko kalau saya sudah di rumah. ;p


Harus diakui bahwa ternyata memang tidak mudah menjadi ibu yang bekerja. Tidak disangka pada saat mulai terpikir untuk kembali bekerja setelah setahun membesarkan Gyzan, ternyata yang perlu persiapan bukan Gyzan-nya, atau suami saya apalagi orang rumah.. yang harus mempersiapkan diri justru saya sendiri. Karena dengan bekerja situasi bukan menjadi tambah gampang malah tambah repot karena berarti saya punya dua tanggungjawab; anak dan pekerjaan. Beres di rumah, pekerjaan di kantor menunggu; selesai di kantor, pulang ke rumah masih ada lagi urusan yang mesti dirapihkan. ‘Siap gak ya….. secara fisik maupun secara emosional. Ini berarti saya berkomitmen untuk melakukan ‘double job’, begitu pikir saya pada saat itu.

Waktu merupakan ‘challenge’ tersendiri bagi saya. Memprioritaskan Gyzan, tapi dalam waktu yang bersamaan juga ada tanggungjawab lain pada pekerjaan yang sama pentingnya; alasan saya bekerja salahsatunya juga toh..supaya bisa nyenengin anak.

Punya anak dan bekerja seringkali membuat saya harus mengandalkan teori Time Management; tapi…seperti kata pepatah, easier said than done… So, semaksimal mungkin saya jalankan, tapi bila tidak bisa (atau tidak berhasil alias berantakan total..) untuk diterapkan saya tidak pernah ambil pusing dan cari cara lain yang lebih time friendly dengan jadwal saya. I knew I did the best I could possibly have; yang penting prioritas utama saya, yaitu Gyzan sudah lebih dulu diurus. Pekerjaan kantor tetap ada; gak kemana-mana kok.. dan akan selalu nambah. Tapi kalau perkembangan Gyzan, bisa-bisa terlewatkan dan tentunya gak bisa diulang lagi. He only gets to be a baby and a kid once. One thing that I learnt about my son, is that every times he spent with me is all about the quantity not the quality. Seberapa pun berkualitasnya kebersamaan saya dengan dia saat liburan, tetap saja Gyzan lebih memilih untuk selalu diurus oleh saya dan bersama saya sesering mungkin; and as a mom, although it’s so hectic I am more than happy to oblige.

Pada saat pekerjaan di rumah maupun di kantor lagi menumpuk dan terus mendesak, all I do is step back…take a deep breath…put everything back in perspective, then…move on. Gak gampang menjadi ibu yang bekerja, tapi ini sudah menjadi pilihan saya. Dengan bekerja, saya merasa menjadi diri saya sendiri tanpa embel-embel apa pun. Bukan istrinya Andre-suami saya, bukan bundanya Gyzan, tapi saya sendiri..Zyeril Makki. Tapi seperti semua pilihan-pilihan lainnya, it all comes with consequences.